Diskontinu

Cerita Pendek Sekali

Perempuan itu menatapku dalam-dalam sejak aku naik gerbong kereta. Seolah-olah aku kekasih lama yang pernah dikenalnya. Dulu, dulu sekali.

Dia tak berhenti memandangku dari balik kacamatanya. "Aku ingat kamu, kau tak mengenaliku sedikitpun?" matanya seakan berkata begitu jika kuterjemahkan dengan kalimat.

Setelah mendapat tempat berdiri (ya keretanya penuh seperti biasanya di akhir pekan) kali ini aku ganti mencuri pandang padanya. Kau tahu rasanya saat sedang diperhatikan orang bukan? Mata kami sesaat bertemu dan dia berhenti menatapku.

Setelah tatapan kami beradu, tak lama kemudian perempuan itu terlelap di tengah gerbong yang semakin pengap. Aku mengeluarkan buku dari dalam tasku. Apalagi yang bisa kulakukan?

Kereta berhenti di stasiun berikutnya. Penumpang lainnya berebutan masuk. Perempuan itu terbangun karena suara yang bising saat pintu kereta menutup. Matanya kali ini memandang jauh, jauh sekali keluar kaca jendela. Bahkan jauh tatapannya melebihi jauhnya jarak perjalanan kereta ini.

Konsentrasi membacaku jadi terganggu, aku membayangkan jika posisiku di perempuan itu apa yang menarik dari diriku? Lelaki kurus setengah baya, dengan pakaian, sepatu dan tas serba hitam naik dengan mata yang kosong. Kira-kira begitu aku menilai diriku sendiri.

Mengapa aku seperti mengenalnya? Ah aku pikir aku pernah melihatnya. Wajahnya, penampilannya, cara berjalannya. Duh kenapa aku lupa siapa lelaki itu? Mengapa ingatan sering pergi ketika sedang dibutuhkan? Sial, dia sadar aku memperhatikannya. Buru-buru aku menatap bagian kereta lain yang tidak menarik ini.

Tapi ya tatapannya, sungguh aku akrab dengan mata lelaki itu. Atau hanya perasaanku saja karena aku sedang bosan Lebih baik kupikirkan nanti, lagipula tubuhku juga sudah lelah sejak tugas di kota tadi. Jika beruntung saat terbangun mungkin aku sudah berhasil mengingatnya, dan dia tetap berdiri di situ, di depanku.

Beberapa stasiun telah terlewati. Penumpang berganti wajah, tapi tidak dengan lelaki itu. Ia tetap di sana, berdiri mematung seperti tiang besi penyangga gerbong, tangannya menggenggam erat tali pegangan, seolah-olah jika ia melepaskannya, ia akan jatuh terperosok ke dalam sesuatu yang lebih dalam dari lantai kereta.

Aku menutup bukuku. Percuma, kalimat-kalimat di dalamnya kini hanya barisan huruf tanpa makna. Kepalaku justru sibuk menyusun potongan-potongan ingatan yang beterbangan tak karuan. Si lelaki itu... mengapa begitu sulit didefinisikan? Bukan tokoh terkenal, bukan mantan guru, bukan juga mantan kekasih—aku yakin betul soal itu.

Lalu siapa? Perempuan berkacamata itu kini sedang menatap layar ponselnya. Tidak lagi memandangiku. Entah mengapa aku merasa kehilangan sesuatu. Seperti pertunjukan diam-diam antara kami sudah selesai sebelum sempat dimulai.

Lelaki itu bergerak. Langkahnya pelan, menyeret sedikit sepatunya. Ia melewati tempatku berdiri. Aku menoleh, mengejarnya dengan pandangan. Ia sudah berdiri lebih jauh, punggungnya tegak tapi lunglai. Satu tangannya meraba saku jaket hitamnya, lalu mengeluarkan sesuatu. Sebuah foto? Aku tidak bisa melihat dengan jelas. Tapi ekspresinya berubah. Mata kosongnya tadi kini memunculkan kerutan, seperti seseorang yang sedang berusaha mengenang tapi takut pada apa yang akan ditemukannya.

"Kalau aku ajak bicara, mungkin dia akan ingat," pikirku. Tapi lidahku kaku, seperti selalu. Mungkin juga aku hanya takut. Takut dia tak mengenalku, atau lebih buruk—takut dia mengenalku, dan aku tak siap untuk itu.

Kereta berhenti lagi. Kali ini cukup lama. Ada pengumuman di pengeras suara, tapi telingaku hanya mendengar dengung samar. Perempuan berkacamata bangkit dari duduknya—entah sejak kapan dia mendapat tempat duduk—dan berjalan perlahan ke arah pintu. Ia berhenti sejenak di depanku. Matanya kembali mencari-cari sesuatu di wajahku.

"Aku benar-benar mengenalmu," seolah itu yang ingin dia katakan.

Tapi tak ada kata yang keluar. Ia hanya mengangguk kecil, seperti menyapa masa lalu yang terlalu lama diam. Lalu melangkah keluar, menghilang ditelan kerumunan.

Aku masih berdiri, dan lelaki itu kini menatap ke arahku. Pandangan kami bertemu.

Untuk sesaat, aku melihat pantulan diriku di matanya—bukan diriku hari ini, tapi versi yang lebih muda, lebih hangat, lebih ringan.

Lalu dia tersenyum. Bukan senyum ramah, tapi seperti senyum seseorang yang akhirnya menemukan bagian puzzle yang lama hilang. Dan saat itulah aku sadar, lelaki itu bukan orang asing.

Dia aku. Atau setidaknya... bagian dari aku yang pernah hilang di suatu tempat dalam perjalanan.

#Blog